Ode buat Ibu Wita - seorang veteran
yang turut menggemburkan tanah tempat kita tumbuh,
sehingga kita menjadi orang yang bermartabat di negeri ini..
Sepulang siaran minggu lalu, aku mampir ke rumah Ibu Wita. Di dinding ruang tamunya yang sederhana bergantung banyak sekali fotonya di masa muda: seorang wanita cantik berwajah Indo-Belanda, mengenakan pakaian pejuang, menatap tajam ke arah kamera, seolah menegaskan kepada dunia, "Aku cinta negeri ini, dan akan membelanya dengan seluruh nafasku!".
Berbagai kisah tentang kehidupannya di masa lalu sempat kudengar. Ia dan suaminya adalah sepasang pejuang tangguh, yang mendedikasikan seluruh waktu untuk kemerdekaan. Tak jarang jarak Blitar-Malang mereka tempuh dengan berjalan kaki. Dan kediaman mereka adalah rumah hangat yang senantiasa dirindukan oleh para pejuang lain, jujugan untuk berlindung dan melepas penat. Siapapun yang mengenal pasangan ini berpendapat bahwa Tuhan tidak menganugerahkan putra kepada mereka, karena mereka sangat dibutuhkan oleh banyak orang lain.
Di masa tuanya, setelah sang suami berpulang, Ibu Wita aktif di perkumpulan para veteran. Suara emasnya di kala menyanyikan lagu keroncong sangat dikenal oleh teman-temannya. Ia juga sering diundang ke sekolah-sekolah untuk bercerita tentang masa perjuangannya. Dan setelah menghadiri salah satu undangan itu - empat bulan berselang - ia jatuh terduduk. Entah tulang mana yang patah, yang jelas setelah itu kondisinya sangat jauh menurun.
Lalu saat aku masuk kamarnya di pukul 11 siang itu, sosok yang menumbuk pandanganku itu membuat air mataku membanjir seketika. Ia tak berkawan. Di samping tubuh renta yang terbujur di balik selimut itu tergeletak piring kecil berisi makanan dingin sisa pagi yang tersisa setengahnya, dan sebuah gelas plastik bekas air mineral yang sudah kosong.
Aku masih merasakan kilau auranya, aku masih merasakan nyala di matanya. Suara lirih namun penuh semangat itu berulangkali mengatakan "sebentar lagi umurku 88 tahun"... Makin ia berusaha bercerita, makin besar rasanya sumbatan rasa haru di kerongkonganku, membuatku tak tahan berlama-lama di situ.
Mungkin saja, kalau ia tak turut berjuang saat itu,Anak angkatnya mengatakan bahwa sejak jatuh, belum pernah Ibu Wita diperiksakan ke dokter, karena khawatir harus operasi, butuh banyak biaya, dan belum tentu sembuh. Lalu siapa yang akan menjaga beliau di RS kalau harus berlama-lama di sana seperti tetangga sepuh yang juga mengalaminya? Ironisnya, kediaman keluarga ini hanya sekitar 100 meter dari Rumah Sakit Tentara. Jadi kami mencoba diskusikan apa yang bisa dilakukan utk beliau saat ini, walau dengan harapan yang sangat tipis,
orang tuaku tetap menjadi 'inlander' yang dihinakan di negeri sendiri,
tak mampu memberiku kesempatan untuk bersekolah,
berkawan dengan begitu banyak orang,
dan mendapatkan pelajaran dari dunia luas yang hanya berbatas kaki langit...
I do hope it works,
for the sake of her pure heart..
Amien...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar