Kakek (sambil baca koran) : "Windows Vista itu apa sih?"
Cucu : "Itu salah satu operating system buat komputer,Kek.."
Kakek: "Oalah.. Itu ditaruhnya di sebelah mana sih di komputer?"
Cucu (sambil terburu-buru mengenakan sepatu karena akan berangkat kuliah): "Ya di dalam sistemnya to Kek.. ndak keliatan dari luar.."
Kakek: "Gunanya buat apa sih?"
Cucu: "Waduh..panjang penjelasannya Kek..aku buru-buru... Kakek baca majalah komputerku yang ada di meja itu aja ya.."
Kakek: "Lha wong bahasanya di majalahmu itu kaya bahasa planet gitu, Kakek ya ndak mudheng..."
Cucu (sambil ngeloyor pergi, membayangkan kakeknya seperti dinosaurus karena berasal dari masa lalu dan tidak mengerti kemajuan teknologi): "Ya belajar to Kek...nanti lama-lama juga ngerti...hare geneee....gaptek..? Enggak banget!"
Kakek (jengkel karena mendengar sebagian kata-kata cucunya yang diucapkan dengan cukup keras) : "Huh..anak ingusan, sombong amat! Dulu kamu masih pakai popok kakek ini sudah jadi kepala sekolah!"
Pembicaraan semacam itu cukup sering terdengar dalam keluarga multi-generasi. Kakek yang merasa sudah kenyang makan asam-garam kehidupan dan berkedudukan sebagai 'tetua' dirumah itu merasa putus asa karena tak dapat memahami berbagai hal yang terkait dengan kemajuan zaman, seperti teknologi informasi, komunikasi, dan sebagainya. Ia juga merasa sangat jengkel karena cucunya - yang baru mulai mencicipi bangku kuliah dan dianggapnya sebagai anak ingusan - tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan tentang hal ini. Belum lagi nada bicara sang cucu yang kadang terdengar melecehkan di telinganya. Kekesalan dan keputusasaan yang tak terhindarkan ini makin lama makin membukit di hati sang kakek, dan membuatnya jatuh dalam keadaan depresi. Ditambah gangguan emosional karena demensia ("pikun") yang mulai dialaminya, maka makin lama kakek ini makin mudah marah dan tersinggung (irritable).
Seperti lingkaran setan, maka sang cucu makin lama makin enggan berkomunikasi dengan kakeknya.
Di tempat kerjapun generation gap ini kerap menjadi masalah besar. Seorang manajer baru dan brilian yang kebetulan fresh-graduate dari perguruan tinggi luar negeri mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan staf lama yang berusia lebih tua dan berpendidikan lebih rendah. Di satu sisi ada penolakan dari diri staf tersebut atas posisi 'anak ingusan' yang menjadi atasannya, karena ia merasa lebih berpengalaman di divisi tersebut. Di sisi lain sang manajer sangat tidak sabaran atas kinerja 'dinosaurus' yang menjadi anak buahnya, yang dinilainya lambat dan memakai pola yang sudah out of date.
Bukan hanya dalam hal ilmu pengetahuan, berbagai hal dapat menjadi pemicu keributan dalam generation gap (kesenjangan antar generasi) ini. Mulai mode, jenis makanan, acara televisi, lagu, bahasa, norma, dan masih banyak lagi.
Tentu dibutuhkan kemampuan komunikasi yang memadai untuk menjembataninya, dan itu dapat diterjemahkan secara sederhana dalam beberapa tips di bawah ini (diambil dari berbagai sumber), yang dapat dicoba -baik oleh "sang dinosaurus" maupun "si anak ingusan" - untuk menjembatani gap yang ada tersebut, agar kehidupan-lintas-generasi dapat dijalani dengan lebih nyaman..
- Bicaralah dengan 'bahasa' mereka. Baca apa yang mereka baca, dengarkan musik yang mereka dengarkan. Tidak perlu terlalu detil, cukup agar kita tidak memandang mereka seolah-olah mereka penumpang UFO yang sedang membicarakan planet asalnya.
- Amati apa yang mereka lakukan, lalu sebisa mungkin libatkan diri sesekali. Bila aktivitasnya di luar jangkauan kemampuan fisik kita, kehadiran kitapun sudah cukup untuk menunjukkan perhatian kita.
- Tahan diri untuk tidak cepat mengkritik. Dengarkan sampai selesai apa yang dibicarakan oleh lawan bicara, sehingga mereka tahu bahwa akan ada waktunya mereka mendengarkan apa yang kita bicarakan.
- Carilah suatu aktivitas ringan yang dapat dinikmati bersama, seperti jalan ke mall, memancing, mengunjungi toko buku, atau sekedar ngobrol sambil menikmati es krim di kedai es krim dekat rumah. Saat-saat ini dapat memberikan pemahaman baru bagi kita tentang diri mereka, yang selama ini terlewatkan karena tiadanya waktu yang diluangkan bersama.
- Minta pendapat mereka tentang suatu pilihan yang kita buat ("Baju hijau ini cocok enggak buat dipakai sekarang ya Kek?")
- Berikan apresiasi untuk apa yang mereka lakukan ("Wah..ibumu cerita bahwa kau menemaninya berbelanja hari ini,dan dia senang sekali!")
Masih banyak lagi cara dan kesempatan yang dapat diciptakan untuk saling mendekatkan diri satu sama lain.
Pilih cara yang menyenangkan,
dan nikmati kegembiraan yang mewarnai hari-hari di rumah dan tempat kerja Anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar